Senin, 16 Februari 2009

bahan kuliah PSIKOLOGI PERSEPSI


Psikologi Persepsi dan Desain Komunikasi Visual

Desain Komunikasi Visual bisa dikatakan adalah seni menyampaikan pesan (arts of commmunication) dengan menggunakan bahasa rupa (visual language) yang disampaikan melalui media berupa desain. Dengan tujuan menginformasikan, mempengaruhi hingga merubah perilaku target audience sesuai dengan tujuan yang diinginkan. Bahasa rupa yang dipakai berbentuk grafis, tanda, simbol, ilustrasi gambar/foto, tipografi/huruf dan sebagainya yang disusun berdasarkan khaidah bahasa visual yang khas. Isi pesan diungkapkan secara kreatif dan komunikatif serta mengandung solusi untuk permasalahan yang hendak disampaikan (sosial maupun komersial ataupun berupa informasi, identifikasi maupun persuasi).
Psikologi

Psikologi atau psychology secara etimologi atau asal-usul kata berasal dari kata psycho, yang berasal dari bahasa Yunani psukhē yang artinya pikiran, jiwa (mind). Sementara -logy sendiri berarti ilmu, jadi artinya adalah ilmu yang mempelajari jiwa dan pikiran.

Psikologi adalah sebuah disiplin ilmu yang bersifat akademis dan terapan yang melingkupi studi mengenai proses mental dan perilaku. Bidang yang dipelajari oleh para psikolog adalah perihal persepsi, kognisi (proses penyerapan pengetahuan), emosi, kepribadian dan hubungan interpersonal. Psikologi juga dikenal akan terapan pada aktivitas kehidupan manusia sehari-hari seperti: keluarga, pendidikan dan pekerjaan, juga perlakuan terhadap permasalahan kejiwaan manusia. Beberapa sub bidang psikologi diantaranya psikologi pengembangan sumber daya manusia, psikologi olahraga, psikologi kesehatan, psikologi industri, psikologi media dan psikologi hukum.


Psikologi Persepsi

Dalam psikologi, persepsi visual adalah kemampuan manusia untuk menginterpretasikan informasi yang ditangkap oleh mata. Hasil dari persepsi ini disebut sebagai penglihatan (eyesight, sight atau vision). Unsur-unsur ragam psikologi dalam penglihatan secara umum terangkum dalam sistem visual (visual system). Sistem visual pada manusia memungkinkan untuk beradaptasi dengan informasi dari lingkungannya.

Masalah utama dari persepsi visual ini tidak semata-mata apa yang dilihat manusia melalui retina matanya. Namun lebih daripada itu adalah bagaimana menjelaskan persepsi dari apa yang benar-benar manusia lihat.

Peranan Psikologi Persepsi dalam Desain Komunikasi Visual

Bahwa ada faktor untuk harus menyampaikan suatu pesan yang sifatnya persuasif, maka peranan psikologi persepsi sangat dibutuhkan di sini. Sebagai penyampai pesan kita harus memahami keadaan dan sifat-sifat dari sasaran kita (target audience). Dengan kita memahami apa, siapa dan bagaimana dari sasaran kita. Sehingga semua apa yang kita sampaikan akan mengena dan efisien. Sebuah pesan akan percuma jika tidak dipahami oleh penerimanya. Bila kita bicara dengan perbandingan biaya yang kita keluarkan, maka hal tersebut sama saja dengan pemborosan. Dengan demikian sebelum kita melakukan penyampaian pesan, kita harus pahami dulu sasaran kita. Setelah itu baru menentukan bagaimana pesan tersebut disampaikan

Aliran - aliran psikologi

A. Behaviourisme

Aliran ini sering dikatkan sebagai aliran ilmu jiwa namun tidak peduli pada jiwa. Pada akhir abad ke-19, Ivan Petrovic Pavlov memulai eksperimen psikologi yang mencapai puncaknya pada tahun 1940 – 1950-an. Di sini psikologi didefinisikan sebagai sains dan sementara sains hanya berhubungan dengan sesuatu yang dapat dilihat dan diamati saja. Sedangkan ‘jiwa’ tidak bisa diamati, maka tidak digolongkan ke dalam psikologi.

Aliran ini memandang manusia sebagai mesin (homo mechanicus) yang dapat dikendalikan perilakunya melalui suatu pelaziman (conditioning). Sikap yang diinginkan dilatih terus-menerus sehingga menimbulkan maladaptive behaviour atau perilaku menyimpang. Salah satu contoh adalah ketika Pavlov melakukan eksperimen terhadap seekor anjing. Di depan anjing eksperimennya yang lapar, Pavlov menyalakan lampu. Anjing tersebut tidak mengeluarkan air liurnya. Kemudian sepotong daging ditaruh dihadapannya dan anjing tersebut terbit air liurnya. Selanjutnya begitu terus setiap kali lampu dinyalakan maka daging disajikan. Begitu hingga beberapa kali percobaan, sehingga setiap kali lampu dinyalakan maka anjing tersebut terbit air liurnya meski daging tidak disajikan. Dalam hal ini air liur anjing menjadi conditioned response dan cahaya lampu menjadi conditioned stimulus.

Percobaan yang hampir sama dilakukan terhadap seorang anak berumur 11 bulan dengan seekor tikus putih. Setiap kali si anak akan memegang tikus putih maka dipukullah sebatang besi dengan sangat keras sehingga membuat si anak kaget. Begitu percobaan ini diulang terus menerus sehingga pada taraf tertentu maka si anak akan menangis begitu hanya melihat tikus putih tersebut. Bahkan setelah itu dia menjadi takut dengan segala sesuatu yang berbulu: kelinci, anjing, baju berbulu dan topeng Sinterklas.

Ini yang dinamakan pelaziman dan untuk mengobatinya kita bisa melakukan apa yang disebut sebagai kontrapelaziman (counterconditioning).

B. Psikoanalisis

Aliran behaviourisme dianggap gagal karena tidak memperhitungkan faktor kesadaran manusia. Aliran behaviourisme tidak memperhitungkan faktor pengalaman subjektif masing-masing individu (cinta, keberanian, keimanan, harapan dan putus asa). Jadi aliran ini gagal memperhitungkan kesadaran manusia dan motif-motif tidak sadarnya.

Kemudian muncullah aliran berikut: psikoanalisis. Psikoanalisis disebut sebagai depth psychology yang mencoba mencari sebab-sebab perilaku manusia pada alam tidak sadarnya. Tokoh dari aliran ini adalah Sigmund Freud seorang neurolog berasal dari Wina, Austria akhir abad ke-19. Aliran ini berpendapat bahwa manusia adalah makhluk yang berkeinginan (homo volens).

Dalam pandangan Freud, semua perilaku manusia baik yang nampak (gerakan otot) maupun yang tersembunyi (pikiran) adalah disebabkan oleh peristiwa mental sebelumnya. Terdapat peristiwa mental yang kita sadari dan tidak kita sadari namun bisa kita akses (preconscious) dan ada yang sulit kita bawa ke alam tidak sadar (unconscious). Di alam tidak sadar inilah tinggal dua struktur mental yang ibarat gunung es dari kepribadian kita, yaitu:

  1. Id, adalah berisi energi psikis, yang hanya memikirkan kesenangan semata.
  2. Superego, adalah berisi kaidah moral dan nilai-nilai sosial yang diserap individu dari lingkungannya.
  3. Ego, adalah pengawas realitas.

Sebagai contoh adalah berikut ini: Anda adalah seorang bendahara yang diserahi mengelola uang sebesar 1 miliar Rupiah tunai. Id mengatakan pada Anda: “Pakai saja uang itu sebagian, toh tak ada yang tahu!”. Sedangkan ego berkata:”Cek dulu, jangan-jangan nanti ada yang tahu!”. Sementara superego menegur:”Jangan lakukan!”.
Pada masa kanak-kanak kira dikendalikan sepenuhnya oleh id, dan pada tahap ini oleh Freud disebut sebagai primary process thinking. Anak-anak akan mencari pengganti jika tidak menemukan yang dapat memuaskan kebutuhannya (bayi akan mengisap jempolnya jika tidak mendapat dot misalnya).

Sedangkan ego akan lebih berkembang pada masa kanak-kanak yang lebih tua dan pada orang dewasa. Di sini disebut sebagai tahap secondary process thinking. Manusia sudah dapat menangguhkan pemuasan keinginannya (sikap untuk memilih tidak jajan demi ingin menabung misalnya). Walau begitu kadangkala pada orang dewasa muncul sikap seperti primary process thnking, yaitu mencari pengganti pemuas keinginan (menendang tong sampah karena merasa jengkel akibat dimarahi bos di kantor misalnya).

Proses pertama adalah apa yang dinamakan EQ (emotional quotient), sedangkan proses kedua adalah IQ (intelligence quotient) dan proses ketiga adalah SQ (spiritual quotient).

C. Psikologi Humanistis

Aliran ini muncul akibat reaksi atas aliran behaviourisme dan psikoanalisis. Kedua aliran ini dianggap merendahkan manusia menjadi sekelas mesin atau makhluk yang rendah.
Salah satu tokoh dari aliran ini – Abraham Maslow – mengkritik Freud dengan mengatakan bahwa Freud hanya meneliti mengapa setengah jiwa itu sakit, bukannya meneliti mengapa setengah jiwa yang lainnya bisa tetap sehat.
Adalah Viktor Frankl yang mengembangkan teknik psikoterapi yang disebut sebagai logotherapy (logos = makna). Pandangan ini berprinsip:

a.Hidup memiliki makna, bahkan dalam situasi yang paling menyedihkan sekalipun.

b.Tujuan hidup kita yang utama adalah mencari makna dari kehidupan kita itu sendiri.

c.Kita memiliki kebebasan untuk memaknai apa yang kita lakukan dan apa yang kita alami

bahkan dalam menghadapi kesengsaraan sekalipun.
Frankl mengembangkan teknik ini berdasarkan pengalamannya lolos dari kamp konsentrasi Nazi pada masa Perang Dunia II, di mana dia mengalami dan menyaksikan penyiksaan-penyiksaan di kamp tersebut. Dia menyaksikan dua hal yang berbeda, yaitu para tahanan yang putus asa dan para tahanan yang memiliki kesabaran luar biasa serta daya hidup yang perkasa. Frankl menyebut hal ini sebagai kebebasan seseorang memberi makna pada hidupnya.
Logoterapi ini sangat erat kaitannya dengan SQ tadi, yang bisa kita kelompokkan berdasarkan situasi-situasi berikut ini:

a. Ketika seseorang menemukan dirinya (self-discovery). Sa’di (seorang penyair besar dari Iran) menggerutu karena kehilangan sepasang sepatunya di sebuah masjid di Damaskus. Namun di tengah kejengkelannya itu ia melihat bahwa ada seorang penceramah yang berbicara dengan senyum gembira. Kemudian tampaklah olehnya bahwa penceramah tersebut tidak memiliki sepasang kaki. Maka tiba-tiba ia disadarkan, bahwa mengapa ia sedih kehilangan sepatunya sementara ada orang yang masih bisa tersenyum walau kehilangan kedua kakinya.

b. Makna muncul ketika seseorang menentukan pilihan. Hidup menjadi tanpa makna ketika seseorang tak dapat memilih. Sebagai contoh: seseorang yang mendapatkan tawaran kerja bagus, dengan gaji besar dan kedudukan tinggi, namun ia harus pindah dari Semaran Singapura. Di satu sisi ia mendapatkan kelimpahan materi namun di sisi lainnya ia kehilangan waktu untuk berkumpul dengan anak-anak dan istrinya. Dia menginginkan pekerjaan itu namun sekaligus punya waktu untuk keluarganya. Hingga akhirnya dia putuskan untuk mundur dari pekerjaan itu dan memilih memiliki waktu luang bersama keluarganya. Pada saat itulah ia merasakan kembali makna hidupnya.

c. Ketika seseorang merasa istimewa, unik dan tak tergantikan. Misalnya: seorang rakyat jelata tiba-tiba dikunjungi oleh presiden langsung di rumahnya. Ia merasakan suatu makna yang luar biasa dalam kehidupannya dan tak akan tergantikan oleh apapun. Demikian juga ketika kita menemukan seseorang yang mampu mendengarkan kita dengan penuh perhatian, dengan begitu hidup kita menjadi bermakna.

d. Ketika kita dihadapkan pada sikap bertanggung jawab. Seperti contoh di atas, seorang bendahara yang diserahi pengelolaan uang tunai dalam jumlah sangat besar dan berhasil menolak keinginannya sendiri untuk memakai sebagian uang itu untuk memuaskan keinginannya semata. Pada saat itu si bendahara mengalami makna yang luar biasa dalam hidupnya.

e. Ketika kita mengalami situasi transendensi (pengalaman yang membawa kita ke luar dunia fisik, ke luar suka dan duka kita, ke luar dari diri kita sekarang). Transendensi adalah pengalaman spiritual yang memberi makna pada kehidupan kita.

Determinan Persepsi

Di samping faktor-faktor teknis seperti kejelasan stimulus [mis. suara yang jernih, gambar yang jelas], kekayaan sumber stimulus [mis. media multi-channel seperti audio-visual], persepsi juga dipengaruhi oleh faktor-faktor psikologis. Faktor psikologis ini bahkan terkadang lebih menentukan bagaimana informasi / pesan / stimulus dipersepsikan.

Faktor yang sangat dominan adalah faktor ekspektansi dari si penerima informasi sendiri. Ekspektansi ini memberikan kerangka berpikir atau perceptual set atau mental set tertentu yang menyiapkan seseorang untuk mempersepsi dengan cara tertentu. Mental set ini dipengaruhi oleh beberapa hal.

a.Ketersediaan informasi sebelumnya; ketiadaan informasi ketika seseorang menerima stimulus yang baru bagi dirinya akan menyebabkan kekacauan dalam mempersepsi. Oleh karena itu, dalam bidang pendidikan misalnya, ada materi pelajaran yang harus terlebih dahulu disampaikan sebelum materi tertentu. Seseorang yang datang di tengah-tengah diskusi, mungkin akan menangkap hal yang tidak tepat, lebih karena ia tidak memiliki informasi yang sama dengan peserta diskusi lainnya. Informasi juga dapat menjadi cues untuk mempersepsikan sesuatu.

b.Kebutuhan; seseorang akan cenderung mempersepsikan sesuatu berdasarkan kebutuhannya saat itu. Contoh sederhana, seseorang akan lebih peka mencium bau masakan ketika lapar daripada orang lain yang baru saja makan.

c.Pengalaman masa lalu; sebagai hasil dari proses belajar, pengalaman akan sangat mempengaruhi bagaimana seseorang mempersepsikan sesuatu. Pengalaman yang menyakitkan ditipu oleh mantan pacar, akan mengarahkan seseorang untuk mempersepsikan orang lain yang mendekatinya dengan kecurigaan tertentu. Contoh lain yang lebih ekstrim, ada orang yang tidak bisa melihat warna merah [dia melihatnya sebagai warna gelap, entah hitam atau abu-abu tua] karena pernah menyaksikan pembunuhan. Di sisi lain, ketika seseorang memiliki pengalaman yang baik dengan bos, dia akan cenderung mempersepsikan bosnya itu sebagai orang baik, walaupun semua anak buahnya yang lain tidak senang dengan si bos.

Faktor psikologis lain yang juga penting dalam persepsi adalah berturut-turut: emosi, impresi dan konteks.

a.Emosi; akan mempengaruhi seseorang dalam menerima dan mengolah informasi pada suatu saat, karena sebagian energi dan perhatiannya [menjadi figure] adalah emosinya tersebut. Seseorang yang sedang tertekan karena baru bertengkar dengan pacar dan mengalami kemacetan, mungkin akan mempersepsikan lelucon temannya sebagai penghinaan.

b.Impresi; stimulus yang salient / menonjol, akan lebih dahulu mempengaruhi persepsi seseorang. Gambar yang besar, warna kontras, atau suara yang kuat dengan pitch tertentu, akan lebih menarik seseorang untuk memperhatikan dan menjadi fokus dari persepsinya. Seseorang yang memperkenalkan diri dengan sopan dan berpenampilan menarik, akan lebih mudah dipersepsikan secara positif, dan persepsi ini akan mempengaruhi bagaimana ia dipandang selanjutnya.

c.Konteks; walaupun faktor ini disebutkan terakhir, tapi tidak berarti kurang penting, malah mungkin yang paling penting. Konteks bisa secara sosial, budaya atau lingkungan fisik. Konteks memberikan ground yang sangat menentukan bagaimana figure dipandang. Fokus pada figure yang sama, tetapi dalam ground yang berbeda, mungkin akan memberikan makna yang berbeda.

Prinsip pengorganisasian Visual
Untuk mempersepsi stimulus mana menjadi figure dan mana yang ditinggalkan sebagai ground, ada beberapa prinsip pengorganisasian.

A. Prinsip proximity (kedekatan); seseorang cenderung mempersepsi stimulus-stimulus yang berdekatan sebagai satu kelompok.
Contoh visual



Pada contoh ini, seseorang akan cenderung melihat ada dua kelompok gambar titik merah dibandingkan dengan ada 4 lajur titik.

Sebagai contoh dalam kehidupan sehari-hari, kebanyakan orang akan mempersepsikan beberapa orang yang sering terlihat bersama-sama sebagai sebuah kelompok / peer group. Untuk orang yang tidak mengenal dekat anggota “kelompok” itu, bahkan akan tertukar identitas satu dengan yang lainnya, karena masing-masing orang [sebenarnya ada 4 lajur titik] terlabur identitasnya dengan keberadaan orang lain [dipersepsi sebagai 2 kelompok titik].

B. Prinsip similarity (kesamaan); seseorang akan cenderung mempersepsikan stimulus yang sama sebagai satu kesatuan.

Contoh visual


Pada gambar ini, walaupun jarak antar titik sama, tetapi orang cenderung mempersepsi bahwa terdapat dua kelompok / lajur titik [yaitu titik yang berwarna merah dan titik yang berwarna biru] dibandingkan empat lajur titik.

C. Prinsip continuity; prinsip ini menunjukkan bahwa kerja otak manusia secara alamiah melakukan proses melengkapi informasi yang diterimanya walaupun sebenarnya stimulus tidak lengkap.

Contoh visualPada gambar ini, seseorang cenderung untuk mempersepsikan bahwa ada dua garis yang bersilang membentuk huruf “X”, alih-alih melihatnya sebagai kumpulan titik-titik.

Dalam kehidupan sehari-hari, contohnya adalah fenomena tentang bagaimana gosip bisa begitu berbeda dari fakta yang ada. Fakta yang diterima sebagai informasi oleh seseorang, kemudian diteruskan ke orang lain setelah
“dilengkapi” dengan informasi lain yang dianggap relevan walaupun belum menjadi fakta atau tidak diketahui faktanya.

PSIKOGRAFI

Gaya hidup = bagaimana seseorang menghabiskan waktu dan uangnya
  1. Klasifikasi gaya hidup berdasarkan:
  2. Activities (aktivitas)
  3. Interests (minat)
  4. Opinions (pandangan-pandangan)

Bagaimana mereka menghabiskan waktunya?
Apa minat mereka? Apa yang mereka anggap penting di sekitarnya?
Apa pandangan mereka terhadap diri sendiri maupun orang lain?
Apa karakter-karakter dasar mereka (life cycle, penghasilan, pendidikan, tempat tinggal)?

Tiga kelompok besar segmen psikografi:
  1. Pleasure - Achievement factor (Kualitas kerja keras seseorang).
  2. Follower - Commander factor (Peranan seseorang dalam kelompoknya).
  3. Low Profile - High Profile factor (Tingkat keinginan seseorang untuk mencari perhatian.

Segmen perilaku gaya hidup masyarakat perkotaan Indonesia:

a.The Affluent (15%): pekerja keras, percaya diri, inovatif, proaktif dan berani ambil resiko. Senang mencari perhatian dan menyukai kehidupan dinamis. Terbuka pada hal-hal baru, memiliki kemampuan mempengaruhi orang lain.

b.The Achievers (14%): kemampuan memimpin, kurang suka mencari perhatian. Mengkonsumsi barang-barang fungsional. Keputusan rasional, tidak mudah menerima gagasan baru.

c.The Anxious (6%): sikap sebagai follower, ambisius. Rasa percaya diri kuat, kurang memiliki keberanian. Mudah dipengaruhi.

d.The Loners (10%): senang menyendiri, kurang berani tampil, individualistik.

e.The Socialite (11%): senang bergaul, bersosialisasi dengan orang lain, pengambil resiko yang berani namun kurang rasional. Senang ingin menguasai orang lain, senang menonjolkan diri. Reaktif terhadap perubahan-perubahan dan bersifat impulsif.

f.The Pusher (6%): tidak ingin diperhatikan namun ingin mendominasi tapi tanpa arah jelas. Tidak memiliki tujuan jelas namun suka mengontrol orang lain. Tidak mudah menerima hal-hal baru.

g.The Attention Seeker (17%): ingin menarik perhatian, senang membeli barang baru untuk menarik perhatian orang lain, impulsif dan tidak rasional. Mudah dibujuk secara emosional dan cenderung followers.

h.Pleasure Seekers (20%): ingin mencapai sesuatu tujuan tanpa bekerja terlalu keras. Individualis, kurang senang sosialisasi, tapi suka mengikuti tren. Tidak punya prinsip kuat meski tidak menghendaki perubahan-perubahan.

Seorang peneliti bernama Susianto pada tahun 1993 memetakan 6 segmen gaya hidup remaja di Jakarta:

a.Hura-hura (9%) - kelompok yang menyukai kegiatan hura-hura. Tidak terlalu serius terlibat dalam sesuatu hal. Sebagian besar adalah pria yang senang ‘keramaian kota’.

b.Hedonis (2%) - kelompok yang mengarahkan aktivitasnya untuk mencari kenikmatan hidup semata. Menyenangi kegiatan di luar rumah dan membeli barang-barang mahal untuk kesenangan.

c.Rumahan (23%) - adalah mereka yang lebih banyak menghabiskan waktu di rumah. Berorientasi pada keluarga dan selektif dalam menghabiskan uang sakunya.

d.Sportif (21%) - adalah mereka yang menyukai olah raga dan prestasi di bidang olah raga. Bukan tipe pesolek dan terbuka pada situasi.

e.Kebanyakan (30%) - tipe umum yang paling banyak ditemui, berhati-hati dalam bertindak, konformis, kurang berani menjadi inisiator.

f.Orang untuk orang lain (15%) - kelompok yang peka terhadap kebutuhan orang lain, dapat diandalkan, bersikap sosial, produktif, mengutamakan kebersamaan dalam keluarga.

Riset Global Scan oleh Biro Riset Backer Spielvogel & Bates Worldwide (BSB) pada tahun 1985. Memetakan perilaku konsumen di 18 negara (Australia, Belgia, Kanada, Denmark, Finlandia, Perancis, Jerman, Belanda, Hongkong, Italia, Jepang, Meksiko, Norwegia, Spanyol, Swedia, Inggris, Amerika Serikat dan Venezuela).

a.Strivers (Pekerja Keras) (26%) - muda usia, sibuk, hidup di bawah tekanan waktu, pekerja keras, materialistis, mencari kesenangan hidup, menginginkan imbalan instan.

b.Achievers (Pemburu Sukses) (22%) - usia lebih tua dibanding strivers, hidup sejahtera, agak sombong dan ‘tinggi’ perilakunya, sadar kelas dan kualitas, trendsetter.

c.Pressured (Orang-orang yang tertekan) (13%) - penghasilan tetap, beban keluarga yang besar, tidak memiliki kesempatan menikmati hidup.

d.Adapters (Pencocok) (18%) - mereka yang selalu merasa cocok dengan lingkungannya, tidak mudah mengeluh, selalu menyesuaikan dengan perubahan, bersikap terbuka, tidak mudah terkejut.

e.Traditionals (16%) - mempertahankan nilai-nilai lama di daerahnya masing-masing, enggan pada hal-hal baru, enggan berubah, menyukai produk yang sudah dikenal, konservatif, terikat pada masa lalu.

Daftar pustaka
  • Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Komunikasi, Penerbit PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 2001
  • Danah Zohar dan Ian Marshall (terj.), SQ – Memanfaatkan Kecerdasan Spiritual dalam Berpikir Integralistik dan Holistik untuk Memaknai Hidup, Penerbit Mizan, Bandung, 2000
  • Bradley Steffens, Ibn al-Haytham: First Scientist, Morgan Reynolds Publishing, 2006
  • Jalaluddin Rakhmat dalam Danah Zohar, SQ – Memanfaatkan Kecerdasan Spiritual dalam Berpikir Integralistik dan Holistik untuk Memaknai Hidup, Mizan, Jakarta, 2000.
  • Damajanti, Irma, Psikologi Seni, Penerbit Kiblat, Bandung, 2006
  • Sobur, Alex, Psikologi Umum, Pustaka Setia, Bandung, 2003
  • www.gogorbangsa.wordpress.com


Tidak ada komentar:

Posting Komentar