Untuk apa kita belajar semiotika? Mempelajari semiotika sama halnya belajar mengenai pelbagai tanda yang ada di muka bumi ini. Seperti halnya cara kita berpakaian, cara kita berbicara, cara bersosialisasi, cara kita makan, dan berbagai ragam budaya manusia adalah salah satu dari sekian banyak dinamika dunia tanda. Tanda bertebaran dimana-mana; tanda ada di sekujur tubuh kita, di depan dan di dalam rumah kita, di mall dan pusat perbelanjaan tradisional. Bahkan saat kita diam sekalipun sebenarnya kita sedang menyampaikan suatu maksud. Dengan berbagai tanda yang kasat mata maupun tersembunyi sebenarnya kita sedang mencari keteraturan di pentas dunia yang sudah kacau, tanda tersebut berfungsi sebagai pegangan. Tanda-tanda adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya mencari dan menemukan jalan di tengah-tengah manusia bersama dengan manusia-manusia yang lainnya.
Tanda merupakan konsep utama dalam studi budaya, karena manusia berpikir lewat sarana tanda. Itulah sebabnya tanpa tanda manusia tidak dapat berkomunikasi. Tanda merupakan ”basis dari seluruh komunikasi”. Komunikasi terjadi lewat perantara tanda-tanda oleh karena itu sebagian besar dari teori komunikasi berasal dari teori semiotika.
Sebagai disiplin ilmu, pendekatan, metodologi atau kajian, semiotika mulai banyak di pelajari oleh para mahasiswa, secara khusus pada bidang studi komunikasi. Namun dalam dasawarsa terakhir semiotika bahkan mulai merentangkan sayapnya pada bidang studi dan disiplin ilmu lainnya seperti filsafat, sastra, senirupa, dan desain komunikasi visual.
Semiotik atau semiologi merupakan terminologi yang merujuk pada ilmu yang sama. Istilah semiologi lebih banyak digunakan di Eropa sedangkan semiotik lazim dipakai oleh ilmuwan Amerika. Istilah yang berasal dari kata Yunani semeion yang berarti ‘tanda’ atau ‘sign’ dalam bahasa Inggris itu adalah ilmu yang mempelajari sistem tanda seperti: bahasa, kode, sinyal, dan sebagainya. Secara umum, semiotik didefinisikan sebagai berikut.
Semiotics is usually defined as a general philosophical theory dealing with the production of signs and symbols as part of code systems which are used to communicate information. Semiotics includes visual and verbal as well as tactile and olfactory signs (all signs or signals which are accessible to and can be perceived by all our senses) as they form code systems which systematically communicate information or massages in literary every field of human behaviour and enterprise.
(Semiotik biasanya didefinisikan sebagai teori filsafat umum yang berkenaan dengan produksi tanda-tanda dan simbol-simbol sebagai bagian dari sistem kode yang digunakan untuk mengomunikasikan informasi. Semiotik meliputi tanda-tanda visual dan verbal tanda-tamda merupakan merupakan perangkat yang kita pakai dalam upaya berusaha mencari jalan di dunia ini, di tengah-tengah manusia dan bersama-sama dengan manusia. [semua tanda atau sinyal yang bisa diakses dan bisa diterima oleh seluruh indera yang kita miliki] ketika tanda-tanda tersebut membentuk sistem kode yang secara sistematis menyampaikan informasi atau pesan secara tertulis di setiap kegiatan dan perilaku manusia).
Semiotika atau semiolagi, pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana manusia (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai (to sinify) dalam hal ini tidak dapat dicampur adukkan dengan mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana obyek-obyek itu hendak dikomunikasikan, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda (Barthes, 1988:197; Kurniawan, 2001:53).
Tanda adalah sesuatu yang di kategorikan berada dan lekat dengan lingkungan kehidupan keseharian kita sampai sekarang. baik itu pesan dan upaya memberikan makna di dalam siaran televisi, rambu rambu di jalan, fotografi, media, surat kabar, fashion dan lain lain. Semua itu di simbolisasikan dengan jalan memberikan pengalaman baru akan tanda yang menjadi persepsi yang muncul dan berikut pesan pesan yang di sampaikannya kepada kita sendiri. Adalah suatu usaha yang amat sangat rumit untuk mengurai tanda.Dimana di dunia ini penuh dengan jejak jejak dan artefak tanda yang di padu dengan tanda tanda baru yang berseliweran mewarnai dinamika masyarakat lokal ini.
Tanda adalah sesuatu yang mewakili sesuatu. Sesuatu itu dapat berupa pengalaman, pikiran, gagasan atau perasaan, dapat di katakan objek di dalam benda mewakili pikiran atau gagasan dari seorang, sesuatu dan apa tujuan itu di ciptakannya.
Memaknai dan mengklasifikasikan sebuah upaya reproduksi cecitraan sampai saat ini.Setiap simbol mewakili makna, dan makna mewakili sesuatu yang di jelaskan. Jika di kaitkan dengan ilmu yang mempelajari tentang tanda sekalipun, Semiotika, maka berjejalan makna dan apa yang ada di balik tanda bisa terwujudkan dalam berbagai aspek yang tercampur baur. baik dari sisi ideologis, politis, religi, gender dan teori awang awang sekalipun. Ternyata tanda menyimpan makna sekalipun kecil bobotnya. Bentuk tanda dalam ideologi lama (Modern) menawarkan sikap-sikap subversif,mengacu pada percepatan, dinamika dan oposisi serta di katakan otentik dalam menghadapi persoalan-persoalan dunia. Sementara representasi tanda dalam kazhanah, yang katakanlah kontemporer, seakan menawarkan suatu jalan balik, membuat tiruan-tiruan, dan mengulang-ulang sesuatu yang pernah ada, membuatnya menjadi sesuatu yang baru. Begitu terus menerus. Sampai tercipta sesuatu yang baru lagi. Tanpa membutuhkan kode baru sekalipun, representasi tanda kontemporer telah mengakibatkan munculnya Alegori, yakni pengambilan bentuk kode lama yang di representasikan dalam bentuk baru. Dan sekaligus mematahkan sistem personifikasi tanda dalam konteks modern yang mana sesuatu yang orisinil dan otentik, di patahkan maknanya dengan eklektisitas dan pencampur adukan segala macam gaya, baik kurun waktu dan periodenya. Dan begitulah tanda sekalipun dalam penjelasannya terkait dengan konten tekstual. Sebuah teks dalam sudut pandang postmodernisme bukanlah ekspresi tunggal dan individual sang pembawa pesan atau medium; kegelisahannya, ketakutannya, ketertekanannya, keterasingannya, kegairahannya atau kegembiraannya, melainkan sebuah permainan dengan kutipan-kutipan bahasa, yang di pakai untuk menjelaskan tanda ke-sekarang-annya itu.
Tanpa kita sadari sekalipun, tanda telah di lahirkan secara sengaja, dan tidak sengaja sekalipun dalam konteks pewarnaan dan elemen fungsi masyarakat sekalipun. Lihat bagaimana media gosip lokal yang memberikan berita terbaru tentang artis yang akan bercerai, dalam menayangkan gambar gambarnya sekalipun, identitas dan opini publik saling terkait terutama dengan gambaran dan misi makna dari balik gambar gambar yang di tayangkan menyangkut industri televisi, bias gender, komoditas berita dan ada semacam upaya pemampatan dan pengkerdilan esensi jurnalisme itu sendiri. Dan itu perlahan lahan mulai di benarkan seketika. Hal mana yang mengakibatkan Budaya Massa mendapat tempat yang sedikit rawan akan simulasi dan permainan tanda yang saling menyudutkan makna. Mencermati tanda membuat adanya upaya menjaga jarak demi menciptakan keshahihan dan objektifitas yang berguna demi memandang secara jernih apapun persoalannya. Mungkin saya salah, namun upaya komunikasi dan saling bertautan dalam memahami pesan ternyata telah di gunakan lewat tanda sekalipun, demi menjalankan salah satu aturan sosial, saling berkaitan dan komunikasi secara nyata, apapun cara dan maknanya.
Awal mulanya konsep semiotik diperkenalkan oleh Ferdinand de Saussure melalui dikotomi sistem tanda: signified dan signifier atau signifie dan significant yang bersifat atomistis. Konsep ini melihat bahwa makna muncul ketika ada hubungan yang bersifat asosiasi atau in absential antara ‘yang ditandai’ (signified) dan ‘yang menandai’ (signifier). Tanda adalah kesatuan dari suatu bentuk penanda (signifier) dengan sebuah ide atau petanda (signified). Dengan kata lain, penanda adalah “bunyi yang bermakna” atau “coretan yang bermakna”. Jadi, penanda adalah aspek material dari bahasa yaitu apa yang dikatakan atau didengar dan apa yang ditulis atau dibaca. Petanda adalah gambaran mental, pikiran, atau konsep. Jadi, petanda adalah aspek mental dari bahasa (Bertens, 2001:180). Suatu penanda tanpa petanda tidak berarti apa-apa dan karena itu tidak merupakan tanda. Sebaliknya, suatu petanda tidak mungkin disampaikan atau ditangkap lepas dari penanda; petanda atau yang dtandakan itu termasuk tanda sendiri dan dengan demikian merupakan suatu faktor linguistik. “Penanda dan petanda merupakan kesatuan seperti dua sisi dari sehelai kertas,” kata Saussure. Louis Hjelmslev, seorang penganut Saussurean berpandangan bahwa sebuah tanda tidak hanya mengandung hubungan internal antara aspek material (penanda) dan konsep mental (petanda), namun juga mengandung hubungan antara dirinya dan sebuah sistem yang lebih luas di luar dirinya. Bagi Hjelmslev, sebuah tanda lebih merupakan self-reflective dalam artian bahwa sebuah penanda dan sebuah petanda masing-masing harus secara berturut-turut menjadi kemampuan dari ekspresi dan persepsi. Louis Hjelmslev dikenal dengan teori metasemiotik (scientific semiotics). Sama halnya dengan Hjelmslev, Roland Barthes pun merupakan pengikut Saussurean yang berpandangan bahwa sebuah sistem tanda yang mencerminkan asumsi-asumsi dari suatu masyarakat tertentu dalam waktu tertentu. Semiotik, atau dalam istilah Barthes semiologi, pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai (to sinify) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukkan dengan mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objek-objek itu hendak dikomunikasikan, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda. Salah satu wilayah penting yang dirambah Barthes dalam studinya tentang tanda adalah peran pembaca (the reader). Konotasi, walaupun merupakan sifat asli tanda, membutuhkan keaktivan pembaca agar dapat berfungsi. Barthes secara lugas mengulas apa yang sering disebutnya sebagai sistem pemaknaan tataran ke-dua, yang dibangun di atas sistem lain yang telah ada sebelumnya. sistem ke-dua ini oleh Barthes disebut dengan konotatif, yang di dalam buku Mythologies-nya secara tegas ia bedakan dari denotative atau sistem pemaknaan tataran pertama.
Semiologi menurut Saussure, didasarkan pada anggapan bahwa selama perbuatan dan tingkah laku manusia membawa makna atau selama berfungsi sebagai tanda, harus ada di belakangnya sistem pembedaan dan konvensi yang memungkinkan makna itu. Di mana ada tanda di sana ada sistem.
Sedangkan Peirce menyebut ilmu yang dibangunnya semiotika (semiotics). Bagi Peirce yang ahli filsafat dan logika, penalaran manusia senantiasa dilakukan lewat tanda. Artinya, manusia hanya dapat bernalar lewat tanda. Dalam pikirannya, logika sama dengan semiotika dan semiotika dapat diterapkan pada segala macam tanda (Berger, 2000:11-22). Dalam perkembangan selanjutnya, istilah semiotika lebih populer daripada semiologi.
Tanda adalah sesuatu yang bagi seseorang berarti sesuatu yang lain. Dalam pandangan Zoest, segala sesuatu yang dapat diamati atau dibuat teramati dapat disebut tanda. Karena itu, tanda tidaklah terbatas pada benda. Adanya peristiwa, tidak adanya peristiwa, struktur yang ditemukan dalam sesuatu, suatu kebiasaan, semua ini dapat disebut tanda. Sebuah bendera kecil, sebuah isyarat tangan, sebuah kata, suatu keheningan, suatu kebiasaan makan, sebuah gejala mode, suatu gerak syaraf, peristiwa memerahnya wajah, suatu kesukaan tertentu, letak bintang tertentu, suatu sikap, setangkai bunga, rambut uban, sikap diam membisu, gagap, berbicara cepat, berjalan sempoyongan, menatap, api, putih, bentuk, bersudut tajam, kecepatan, kesabaran, kegilaan, kekhawatiran, kelengahan, termasuk penggunaan warna semuanya itu dianggap sebagai tanda (Zoest, 1993:18).
Menurut Saussure, seperti dikutip Pradopo (1991:54) tanda sebagai kesatuan dari dua bidang yang tidak dapat dipisahkan, seperti halnya selembar kertas. Di mana ada tanda di sana ada sistem. Artinya, sebuah tanda (berwujud kata atau gambar) mempunyai dua aspek yang ditangkap oleh indra kita yang disebut dengan signifier, bidang penanda atau bentuk dan aspek lainnya yang disebut signified, bidang petanda atau konsep atau makna. Aspek kedua terkandung di dalam aspek pertama. Jadi petanda merupakan konsep atau apa yang dipresentasikan oleh aspek pertama.
Lebih lanjut dikatakannya bahwa penanda terletak pada tingkatan ungkapan (level of expression) dan mempunyai wujud atau merupakan bagian fisik seperti bunyi, huruf, kata, gambar, warna, obyek dan sebagainya.
Petanda terletak pada level of content (tingkatan isi atau gagasan) dari apa yang diungkapkan melalui tingkatan ungkapan. Hubungan antara kedua unsur melahirkan makna.
Tanda akan selalu mengacu pada (mewakili) sesuatu hal (benda) yang lain yang disebut referent. Lampu merah mengacu pada jalan berhenti. Wajah cerah mengacu pada kebahagiaan. Air mata mengacu pada kesedihan. Apabila hubungan antara tanda dan yang diacu terjadi, maka dalam benak orang yang melihat atau mendengar akan timbul pengertian.
Menurut Pierce, tanda (representament) ialah sesuatu yang dapat mewakili sesuatu yang lain dalam batas-batas tertentu (Eco, 1979:15). Tanda akan selalu mengacu ke sesuatu yang lain, oleh Pierce disebut objek (denotatum). Mengacu berarti mewakili atau menggantikan. Tanda baru dapat berfungsi bila diinterpretasikan dalam benak penerima tanda melalui interpretant. Jadi interpretant ialah pemahaman makna yang muncul dalam diri penerima tanda. Artinya, tanda baru dapat berfungsi sebagai tanda bila dapat ditangkap dan pemahaman terjadi berkat ground, yaitu pengetahuan tentang sistem tanda dalam suatu masyarakat. Hubungan ketiga unsur yang dikemukakan Pierce terkenal dengan nama segitiga semiotik.
Rangkaian pemahaman akan berkembang terus seiring dengan rangkaian semiosis yang tidak kunjung berakhir. Selanjutnya terjadi tingkatan rangkaian semiosis. Interpretan pada rangkaian semiosis lapisan pertama, akan menjadi dasar untuk mengacu pada objek baru dan dari sini terjadi rangkaian semiosis lapisan kedua. Jadi, apa yang berstatus sebagai tanda pada lapisan pertama berfungsi sebagai penanda pada lapisan kedua, dan demikian seterusnya.
Terkait dengan itu, Barthes mengemukakan teorinya tentang makna konotatif. Ia berpendapat bahwa konotasi dipakai untuk menjelaskan salah satu dari tiga cara kerja tanda dalam tatanan pertandaan kedua. Konotasi menggambarkan interaksi yang berlangsung tatkala tanda bertemu dengan perasaan atau emosi penggunanya dan nilai-nilai kulturalnya. Ini terjadi tatkala makna bergerak menuju subjektif atau setidaknya intersubjektif. Semuanya itu berlangsung ketika interpretant dipengaruhi sama banyaknya oleh penafsir dan objek atau tanda.
Bagi Barthes, faktor penting dalam konotasi adalah penanda dalam tatanan pertama. penanda tatanan pertama merupakan tanda konotasi. Lewat unsur verbal dan visual (nonverbal), diperoleh dua tingkatan makna, yakni makna denotatif yang didapat pada semiosis tingkat pertama dan makna konotatif yang didapat dari semiosis tingkat berikutnya. Pendekatan semiotik terletak pada tingkat kedua atau pada tingkat signified, makna pesan dapat dipahami secara utuh (Barthes, 1998:172-173).